JANGAN MELANJUTKAN PROGRAM KADALUARSA DAN TELAH TERBUKTI GAGAL. KELEDAI SAJA TIDAK AKAN JATUH 2 KALI KE LUBANG YANG SAMA. MASA SIH MAU GAGAL ATAU JATUH KE LUBANG YANG SAMA BERKALI-KALI SELAMA LEBIH DARI 50 TAHUN ?

FOOD ESTATE, PROGRAM KADALUARSA DAN GAGAL YANG INGIN TETAP DIPERTAHANKAN OLEH PRABOWO. ITULAH MENGAPA SAYA TIDAK MENDUKUNG BAHKAN MENENTANG PRABOWO.

Kekeukeuhan Prabowo Subianto untuk tetap menjadikan food estate sebagai program andalannya dalam membangun ketahanan dan kemandirian pangan, tidak belajar dari kegagalan-kegagalan implementasi yang dilaksanakan pemerintah sebelumnya bahkan kegagalan, bahkan meskipun program yang juga berada di bawah koordinasi dirinya sebagai Menteri Pertahanan telah gagal dan justru berimbas negatif terhadap lingkungan hidup.

Food estate diprediksi tidak bisa menjadi solusi mengatasi krisis pangan, apalagi untuk bisa membawa kedaulatan pangan di Indonesia. Hal ini menjadi kesimpulan dalam webinar bertajuk “Food Estate: Solusi atau Masalah Petani di Indonesia” yang dilaksanakan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), Kamis (22/10). Webinar ini sendiri masih dalam rangkaian peringatan Hari Pangan Se-dunia 2020 oleh SPI (Serikat Petani Indonesia).

Henry Saragih, Ketua Umum SPI menyatakan, SPI menolak food estate, karena dengan konsep ini, produksi pangan di Indonesia akan tergantung dan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia.

Henry melanjutkan, food estate juga akan membutuhkan investasi yang sangat besar yang menghabiskan keuangan negara. Padahal, Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan bahwa petani dan pertanian kecil yang dikelola keluarga petani (family farming) yang memberi makan masyarakat dunia, bukan korporasi pertanian.

FOOD ESTATE, PROGRAM KADALUARSA DAN GAGAL YANG INGIN TETAP DIPERTAHANKAN OLEH PRABOWO. ITULAH MENGAPA SAYA TIDAK MENDUKUNG BAHKAN MENENTANG PRABOWO.

Menurut pengamat pertanian sekaligus Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB, Dwi Andreas Santosa, kegagalan itu terjadi karena pemerintah melanggar 4 pilar pengembangan lahan pertanian skala besar, yakni: 

Pertama, adalah terkait kesesuaian tanah dan agro climate yang tidak terpenuhi di beberapa proyek lumbung pangan yang ia amati selama 25 tahun terakhir. “Misalnya satu tanaman tertentu dipaksakan di lahan tertentu yang tidak cocok, agro climate-nya gak cocok, ya pasti gagal lah,” katanya.

Kedua, adalah terkait kelayakan infrastruktur. Ia mencontohkan lumbung pangan di Kalimantan Tengah yang infrastrukturnya seperti tata kelola air yang dibangun tidak maksimal karena alasan pendanaan, sehingga membuat lumbung pangan di wilayah tersebut gagal untuk berkembang.

“Ketiga, terkait kelayakan budi daya dan teknologi. Apakah ada varietas-varietas tertentu yang cocok untuk wilayah setempat? Apakah ada teknologi pendampingnya? teknologi pemupukannya? teknologi pengendalian hama? karena pembukaan lahan baru selalu berisiko dengan hama. Kalau itu tidak bisa dipenuhi, jawabannya gagal,” jelasnya.

Lalu pilar terakhir adalah pilar sosial dan ekonomi, yang menurutnya terkadang dilupakan oleh pemerintah. Ia mengungkapkan pembukaan lahan dalam skala besar tentu selalu dibarengi dengan konflik sosial seperti hak wilayah dan sebagainya, terutama di Papua.

FOOD ESTATE, PROGRAM KADALUARSA DAN GAGAL YANG INGIN TETAP DIPERTAHANKAN OLEH PRABOWO. ITULAH MENGAPA SAYA TIDAK MENDUKUNG BAHKAN MENENTANG PRABOWO.

Pegiat lingkungan yang tergabung di Grennpeace, LBH Kalteng, Save Our Borneo dan Walhi menilai proyek lumbung pangan ini justru memperparah krisis pangan dan iklim.

Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mendesak pemerintah harus melakukan evaluasi pelaksanaan proyek food estate secara menyeluruh karena ada potensi kerugian negara dari penggunaan APBN dalam menjalankan proyek ini.

Direktur LBH Palangkaraya, Aryo Nugroho mengimbuhkan, proyek food estate bukan hanya tak sejalan dengan upaya pemenuhan hak atas pangan dan hak atas lingkungan yang sehat untuk masyarakat hari ini, tapi juga mengabaikan hak-hak generasi mendatang.

World Resources Institute menjabarkan beberapa alasan mengapa food estate bukanlah solusi tepat untuk mencapai ketahanan pangan. Pertama, masalah utama di Indonesia adalah soal distribusi bukan ketersediaan dan food estate tidak menyelesaikan masalah tersebut. Kedua, food estate tidak bisa menjadi solusi atas keterbatasan akses terhadap pangan yang sehat. Pasalnya, penyebab utama dari masalah ini adalah daya beli yang lemah, dan lagi-lagi, bukan karena kurangnya ketersediaan pangan.

Pakar Manajemen Risiko Iklim dari Institut Pertanian Bogor, Rizaldi Boer, pernah mengatakan bahwa proyek lumbung pangan bisa mengancam komitmen Indonesia untuk mengatasi krisis iklim, yang seharusnya bisa dicapai dengan penurunan luas deforestasi dan perbaikan pengelolaan lahan gambut.


KESIMPULAN :

Dalam acara "DIALOG CAPRES BERSAMA KADIN" pada hari Jumat, 12 Januari 2024, Prabowo menyatakan bahwa program food estate merupakan program yang sudah dicanangkan oleh Ibnu Sutowo sejak 1970. 

Pertanyaannya sederhana saja, jika program food estate adalah program yang efektif dalam membangun ketahanan pangan dan mensejahterakan rakyat, terutama kesejahteraan petani, maka seharusnya para petani Indonesia sudah sejahtera dan ketahanan pangan telah terbangun saat ini.

Alih-alih berhasil, program ini terbukti gagal bukan hanya sekarang melainkan sejak dulu. Tetap keukeuh melanjutkan program food estate ini sama saja melanjutkan kegagalan dan akan membawa kegagalan dan kerugian yang lebih besar lagi. INGAT, keledai tidak akan jatuh 2 kali ke dalam lubang yang sama. Akankah kita memilih Prabowo yang akan menjalankan program food estate yang telah terbukti gagal bahkan telah terbukti gagal dilaksanakannya ketika program food estate ini berada di bawah koordinasinya sebagai Menteri Pertahanan ?

Jika demokrasi adalah kekuasaan berada di tangan rakyat, maka sudah seharusnya pemimpin mamu mendengarkan suara rakyat. Dan inilah PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT SIPIL yang dilontarkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 163 lambaga ketika pernyataan sikap ini dibuat :

  1. Proyek ini akan menambah kerugian negara.
  2. Proyek ini merusak alam, rakyat yang menerima akibatnya.
  3. Seharusnya pemerintah mengembalikan urusan pangan kepada petani, dan berikan hak atas tanah.

Dan sebagai penutup, saya ingin bertanya: "Jika program meningkatkan produk pertanian yang dibangun di atas lahan proyek food estate, apakah petani dan rakyat otomatis akan sejahtera ?"

Menurut saya, petani tetap tidak sejahtera dan hidup miskin. Dan keuntungan tersebut hanya akan dinikmati oleh elit dan pihak korporasi besar. Padahal semuanya itu menggunakan uang negara.

Dari semua ulasan di atas, masih patutkah program food estate dipertahankan atau dilanjutkan ?

Jika jawabannya adalah TIDAK, ini artinya Paslon 02 tidak layak untuk dipilih. Memilihnya sama saja melanjutkan kegagalan dan membuat negara mengalami kerugian lebih besar lagi.

Kalau saya sih lebih percaya Paslon 03 untuk membangun kedaulatan dan ketahanan pangan yang telah terbukti dari rekam jejaknya selama 10 tahun menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Bagaimana dengan Anda ?


Salam Cerdas Bernalar dan Memilih,


Max Hendrian Sahuleka


REFERENSI :

No comments:

Post a Comment

  • SHARE