PENINGKATAN SUARA PDIP DARI TAHUN 2009 KE 2014 DAN 2019, LEBIH KARENA KEPUTUSAN REVOLUSIONER PDIP


Bagi para pemuja Jokowi, kenaikan suara PDIP dari 14.01% pada Pemilu 2009 menjadi 18,96% pada Pemilu 2014 dan 19,33% pada Pemilu 2019 adalah karena Jokowi Effect alias Pengaruh Jokowi.

Menurut penulis, kenaikan suara PDIP tersebut bukanlah karena pengaruh Jokowi, melainkan karena pengaruh keputusan revolusioner PDIP. Keputusan revolusioner ini adalah mengangkat Jokowi sebagai capres.

Mengapa saya katakan keputusan ini revolusioner ?

Dalam pemilu, dalam hal ini Pilpres, kita menyaksikan saat itu bahwa biasanya yang akan naik sebagai capres adalah seperti capres-capres sebelum-sebelumnya, yaitu para Ketua Partai atau Elit Partai terutama Elit Partai Senior.

Secara umum, masyarakat sudah muak menyaksikan orang-orang lama yang menjadi pemain atau calon Presiden yang diusung oleh Partai dan Partai Koalisi. Dalam bahasa sekarang, "Elo lagi, elo lagi".

Nampaknya PDIP mampu menangkap suara rakyat yang sudah muak dengan sosok yang itu lagi dan itu lagi. Maka Megawati selaku Ketua Umum PDIP dan elit-elit partai lainnya serta para anggota dan kader PDIP berusaha mencari sosok baru yang akan diusung oleh PDIP. Jika pilihannya jatuh kepada Puan Maharani ata para elit senior PDIP, maka sesungguhnya ini tidak mengubah apapun dari kemuakan masyarakat akan wajah-wajah yang itu lagi dan itu lagi.

Maka setelah mencari dari sekian kader PDIP yang menduduki jabatan strategis maka pilihan jatuh kepada Jokowi yang waktu itu baru menjabat 2 tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Pilihan ini tergolong revolusioner karena tentunya ada kader PDIP yang pernah menjabat sebagai Gubernur dan telah menyelesaikan masa jabatannya denga baik. Dan di sinilah revolusionernya. 

Masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia, termasuk yang menyukai suatu fenomena "from zero to hero", menyukai sesuatu yang epik, menyukai sesuatu lompatan besar.

Tentunya keputusan PDIP yang menjadikan Jokowi sebagai capres tidak akan terjadi jika Megawati sebagai Ketua Umum dan para elit PDIP lainnya tidak mau menurunkan egonya yang mau dilangkahi jenjang karirnya dalam pemerintahan.

Dan pilihan PDIP yang mengangkat Jokowi sebagai capres melawan Prabowo Subianto sebagai capres saat itu seperti ingin membangun narasi David melawan Goliat.

Tidak sedikit yang meragukan kualitas kepemimpinan Jokowi. Namun karena masyarakat sudah muak dengan sesuatu yang itu lagi dan itu lagi, maka mencoba membangun harapan baru dengan memilih wajah baru.

Tentu saja, keputusan PDIP yang menjadikan Jokowi sebagai capres yang merupakan keputusan yang revolusioner ini mengundang simpati dari masyarakat terhadap PDIP. Dan karena itulah suara PDIP meningkat cukup signifikan.

Dan keputusan PDIP yang menjadikan Jokowi sebagai capres juga diuntungkan dengan sejarah Prabowo yang dinilai kelam oleh masyarakat serta masih terkait dengan Orde Baru. Narasi tidak ingin Orde Baru berkuasa kembali merupakan kunci utama kemenangan Jokowi dan naiknya suara PDIP.

Jadi, siapapun yang diangkat oleh PDIP sebagai capres asalkan bukan wajah-wajah yang sama dan punya catatan pernah menduduki jabatan pemerintahan, baik sebagai Walikota maupun Gubernur, serta tidak pernah terindikasi terlibat atau berhubungan dengan Orde Baru, maka saya yakin akan tetap menang melawan PDIP.

Jadi, kemenangan Jokowi atas Prabowo Subianto, bukanlah karena kualitas diri Jokowi itu sendiri melainkan karena keputusan revolusioner PDIP dan diuntungkan oleh situasi terutama kemuakan masyarakat terhadap wajah-wajah lama dan tidak ingin Orde Baru kembali berkuasa.

Dan PDIP konsisten melakukan keputusan ini pada Pilpres 2024 yang menaikkan Ganjar Pranowo sebagai Capres. Keputusan revolusioner itu juga dengan mengusung Mahfud MD sebagai cawapres di mana Mahfud MD bukanlah orang berbasis partai dan ormas. Jadi, lagi-lagi PDIP dan Koalisinya melakukan keputusan revolusioner bahwa yang menjadi calon pemimpin di negeri ini karena kualitas dirinya dan karena keprofesionalannya di mana itu telah terbukti dari rekam jejaknya yang sangat baik.

Jokowi dan Prabowo adalah masa lalu, Gibran adalah bagian dari masa lalu dan memilih Prabowo karena Gibran adalah anak Jokowi berarti mendukung Politik Dinasti di mana inilah yang bersama-sama menjadi semangat kita dalam menumbangkan dan melawan Orde Baru dengan KKN-nya pada tahun 1998.

Memilih Ganjar Pranowo dan Mahfud MD adalah suatu pilihan yang tepat untuk melakukan perubahan cepat bagi negeri ini menuju Indonesia Unggul. Gabungan rekam jejak mereka berdua adalah rekam jejak yang sempurna. Dengan gabungan rekam jejak mereka bersua yang artinya pernah menduduki semua jabatan pemerintahan menjadi pengalaman yang sangat penting dalam mengambil keputusan yang bukan hanya tepat melainkan juga cepat.

Dan kembali kepada isu utama yang saya angkat yang menjadi judul tulisan saya, apakah naiknya suara PDIP karena Jokowi atau karena keputusan revolusioner PDIP akan sama-sama kita buktikan pada Pemilu 2024 nanti. Jika suara PDIP terus naik, apalagi naiknya sangat signifikan, maka ini artinya kenaikan suara PDIP pada tahun 2014 dan 2019 bukanlah karena Jokowi, melainkan karena keputusan revolusioner PDIP.


Salam Demokrasi,


Max Hendrian Sahuleka

No comments:

Post a Comment

  • SHARE